19 November 2008

Malam Pakai Genset, Melahirkan Cukup ke Dukun Beranak

Cerita ini sebenernya udah gw tulis berdasarkan pengalaman gw dan diterbitin ma redaktur gw, dan BLOG gw di FS. Tapiii.. ternyata ada permintaan dari Kelli yang mengatakan ke gw "Good for people to know". Okay .. gw terbitin lagi di blog gw di sini yaaa..


Perjalanan Bersama Telkomsel ke Pulau
Sebakatan, Mamuju Sulbar (bagian-1)

Wajar saja jika ada sejumlah kepulauan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicaplok oleh negeri tetangga. Perhatian negeri ini terhadap warga di daerah terisolir sangat memprihatinkan. Simak saja pengalamanku bersama Telkomsel ke Pulau Sebakatan.

Pulau Sebakatan, merupakan satu diantara 14 pulau yang ada di Kepulauan Balabalakan. Pulau-pulau lainnya seperti, Ambo, Seloan, Labia, Malamber, Lamudaan, Sumanga, Papongan, Samataha, Saboyan, Kamarian, Salisingan, Sebakatan, Sundurian, dan Tapilagaan.

Menurut penjelasan yang diungkapkan Kepala Desa Simborok Kepulauan, Muhammad Albar, pulau Papongan dijadikan sebagian pusat desa. “Kebetulan saya memang tinggal di Pulau Sebakatan ini,” ungkap dia ke tika kutemui di rumahnya sesaat kapalku bersandar di pulau Sebakatan, Jumat (27/6) lalu.

Albar–sapaan akrabnya mengatakan, jumlah penduduk yang ada di seluruh kepulauan tersebut sebanyak 3.048 jiwa yang mayoritas mayoritas penduduk berdiam di Pulau Salinsingan dengan jumlah sekitar 1.000 jiwa.Pulau Sebakatan hanya memiliki panjang 800 meter, dan lebar 90
meter. Pulau yang hanya dihuni oleh lebih kurang 60 kepala keluarga (KK) dan berjumlah 400 jiwa ini, sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Untuk mencapai Pulau Sebakatan yang jaraknya sekitar 120 km dari Balikpapan, dan harus ditempuh dengan menggunakan perjalanan lewat laut selama 8 jam.

Perjalanan ini diikuti oleh lebih kurang 30 orang jurnalis, dan diriku termasuk di dalamnya, kita menggunakan kapal patroli milik Angkatan Laut, yang sebenarnya hanya berkapasitas 15 orang. Namun, demi mendapatkan kisah menarik di pulau yang bisa dikatakan jauh dari ‘peradaban’ tersebut, kita rela berdesakan di dalam kapal.

“Pulau ini memang masuk ke dalam Kabupaten Mamuju, namun jaraknya justru lebih jauh ke Mamuju apabila dibandingkan dengan ke Balikpapan. Perjalanan ke Mamuju dapat ditempuh sekitar 12 jam dari pulau Sebakatan. Kalau ke Balikpapan, hanya menghabiskan sekitar 80 liter solar saja untuk pulang pergi. Tapi kalau ke Mamuju, bisa mencapai 100 liter,” ungkap dia.

Dikatakan, penduduknya juga ada yang mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jumlah penerima BLT di Sebakatan hanya 14 kepala keluarga (KK), dan 120 KK di seluruh kepulauan. “Kami tersendat masalah jarak. Penduduk harus mengambil BLT di Mamuju yang membutuhkan biaya transportasi yang cukup besar. Jadi banyak warga kami yang tidak mengambil BLT,” tandasnya.

Di Pulau Sebakatan tersebut, tidak ada listrik. Sebagian besar penduduknya hanya mengandalkan dari genset. Albar mengatakan, genset dengan kapasitas 5.000 watt, dapat digunakan untuk 8 rumah. Genset tersebut dinyalakan mulai pukul 18.00-22.00 setiap harinya. “Untuk solarnya, kami meminta kiriman apabila ada warga yang pergi ke Balikpapan. Ya caranya bergiliran,” papar dia.

Pria yang baru menjabat sebagai Kepala Desa selama 5 bulan ini juga mengatakan, pulau tersebut bisa dikatakan hampir terisolir. “Pulau ini hampir terisolasi. Tidak ada telepon, tidak ada listrik, tidak ada koran, tidak ada kantor pos, rumah sakit juga tidak ada. Kalau ada warga yang ingin melahirkan, biasanya memanggil dukun beranak saja,” papar dia yang menyebutkan, setiap kepala keluarga rata-rata memiliki lebih dari 5 anak. “Di sini tidak ada KB. Untuk imunisasi anak saja tidak ada. Kalaupun ada, biasanya hanya setahun sekali saja,” jelasnya.

Mengenai keadaan ekonomi penduduknya, bisa dikatakan cukup makmur. Kondisi rumah penduduk pun sebagian besar juga sudah berdinding dan beralaskan semen, meskipun juga masih ada rumah penduduk yang terbuat dari kayu dan bermodel rumah panggung.

Mengenai kebutuhan air untuk mandi dan mencuci di pulau tersebut, rata-rata menggunakan air payau yang didapat dari sumur. “Kalau untuk air minum, kami membeli air galon di Balikpapan,” terang dia.

Dengan keadaan ala kadarnya tersebut, ia mengatakan televisi merupakan satu-satunya sumber informasi yang ada di pulau tersebut. Rata-rata setiap rumah sudah memiliki televisi dan menggunakan jaringan parabola yang dipasang di rumah Kepala Desa.

Ia juga mengatakan, penduduk di pulau tersebut juga cukup banyak yang sudah memiliki telepon selular atau HP. “Hanya saja HP-nya tidak bisa dipakai. HP baru bisa dipakai apabila kita pergi ke Sulawesi atau ke Balikpapan. Tak jarang kartunya sering mati, karena tidak pernah diisi. Bagaimana mau diisi, beli pulsanya saja sudah bingung, mau beli dimana,” seru dia yang amat sangat terbantu dengan adanya bantuan dari Telkomsel yang telah mendirikan BTS di pulau tersebut. “Semenjak adanya BTS ini, komunikasi dengan kerabat di luar pulau, sedikit tertanggulangi,” seru dia.

Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan di pulau tersebt, ada sebuah pasar yang hanya buka 2 minggu sekali. “Para pedagang yang terdapat di pasar itu sebagian besar adalah penduduk dari Majene. Mereka (pedagang, Red) hanya berjualan di Sebakatan selama 1 minggu
saja, karena selama 1 minggu tersebut barang dagangan mereka pasti sudah ludes terjual. Mereka akan kembali lagi ke Sebakatan 2 minggu kemudian,” paparnya. (nicha/ bersambung)

0 komentar: